Rabu, 07 Desember 2011

Pajak Bahan Bakar Akan Naik 5%




Ilustrasi. Foto: Corbis
Ilustrasi. Foto: Corbis
JAKARTA - Pemerintah berencana menaikkan pajak bahan bakar sebesar lima persen untuk membantu dana operasi dan pemeliharaan jalan raya. Rencana ini dimasukkan dalam revisi Undang-Undang (UU) Lalu Lintas Jalan Raya (LLAJ) dan sudah ditandatangani presiden.

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Dedy S Priatna mengatakan, tambahan pajak lima persen tersebut bagian dari peraturan baru yang disebut road fund. "Road fundakan dibebankan pada pajak bahan bakar sebagai dana operasi dan pemeliharaan," ujarnya di Jakarta, belum lama ini.

Pajak tersebut akan dikutip setiap kali pembelian bensin dan sebagian hasilnya akan dipakai untuk memperbaiki jalan. "Mereka yang menggunakan jalan kan merusak jalan semua," imbuh Dedy.

Dia menambahkan, hasil pungutan hanya dipakai untuk memelihara jalan, bukan sebagai dana pembangunan. Penggunaan hasil pungutan road fund ini akan diatur oleh peraturan pemerintah untuk menentukan tempat penyimpanannya. "Apakah oleh badan layanan umum (BLU) atau langsung masuk ke Departemen Keuangan," kata dia.

Dedy mencatat panjang jalan yang saat ini memerlukan perawatan sekira 35 ribu kilometer (km) dengan kebutuhan dana Rp23 triliun setahun. Sementara alokasi dana untuk pemeliharaan jalan di Indonesia hanya Rp15 juta-Rp20 juta per km setahun. Dedy menyebutkan, Departemen Pekerjaan Umum tahun ini hanya memperoleh anggaran Rp17 triliun untuk memelihara 35 ribu km jalan nasional dari kebutuhan Rp36 triliun. Akibatnya, sekira 3.000 km jalan telah habis usianya pada akhir 2009.

Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Departemen Perhubungan Elly Sinaga mengatakan, hasil pungutan road fund akan langsung digunakan untuk memperbaiki jalan. "Tidak masuk ke APBN," kata dia.

Lantaran pajak dikutip dari pembelian bahan bakar, ujar Elly, pengguna jalan yang sering menggunakan jalan automatis menyetor lebih banyak. (meutia rahmi) (Koran SI/Koran SI/ade)

Kamis, 20 Oktober 2011

Mengefisienkan Beban Pajak Dari Biaya Sumber Daya Manusia


Biaya-biaya terkait sumber daya manusia dalam sebuah perusahaan biasanya merupakan biaya yang utama. Hampir di semua jenis usaha, biaya SDM ini merupakan biaya yang memiliki porsi yang cukup besar. Perusahaan jasa yang sangat tergantung kepada keahlian dan kompetensi SDM adalah contoh perusahaan yang memiliki pengeluaran besar untuk SDM. Contoh lainnya adalah perusahaan industri yang padat karya.
Dalam menentukan PPh terutang, ada pengeluaran untuk keperluan SDM atau tenaga kerja yan bisa terutang nantinya, perusahaan sebaiknya menghindari biaya SDM yang tidak dapat dikurangkan.
Dilihat dari sisi pegawai yang menerimanya, biaya SDM atau tenaga kerja ini memiliki dua kemungkinan juga, yaitu sebagai objek PPh (sehingga harus dipotong PPh Pasal 21), atau bukan objek pajak (sehingga tidak perlu dipotong PPh Pasal 21).
Nah, dengan demikian kita bisa mengelompokkan biaya SDM ini ke dalam empat kelompok. Pertama biaya SDM yang bisa dibiayakan oleh perusahaan dan merupakan objek pajak bagi karyawan. Kelompok ini adalah jenis SDM yang paling umum mengikuti prinsip deductible-taxable. Jenisnya adalah imbalan seperti gaji, tunjangan, bonus dan lain-lain dalam bentuk uang bukan natura atau kenikmatan. Pada kelompok ini PPh dikenakan di karyawan bukan di perusahaan.
Kedua, adalah biaya SDM yang bisa dibiayakan oleh perusahaan tetapi bukan objek pajak bagi karyawan. Contohnya adalah imbalan natura atau kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan dan natura atau kenikmatan yang dikeluarkan di daerah terpencil. Pada kelompok ini, PPh tidak dikenakan, baik di perusahaan maupun di karyawan. Nah, penghematan pajak akan optimal jika perusahaan memberikan biaya SDM dalam bentuk kelompok kedua ini.
Ketiga, adalah biaya SDM yang tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan tetapi merupakan objek pajak bagi penerimanya. Contohnya adalah pembagian laba kepada karyawan. Pengeluaran kelompok ini akan mengakibatkan pengenaan PPh baik di perusahaan, maupun di karyawan. Nah, untuk mengoptimalkan beban pajak, sebaiknya perusahaan menghindari pengeluaran atau biaya dalam kelompok ini.
Terakhir atau keempat adalah biaya SDM yang tidak bisa dibiayakan oleh perusahaan dan juga bukan objek pajak bagi karyawan. Pengeluaran jenis ini adalah berupa imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan selain yang sudah masuk pada kelompok dua. Apabila perusahaan membayarkan imbalan jenis ini maka PPh akan dikenakan di tingkat perusahaan, bukan di tingkat karyawan.
Kesimpulan
Dalam rangka merencanakan beban pajak yang optimal, perusahaan dapat mengoptimalkan biaya SDM yang termasuk kelompok 2 dan harus  menghindari biaya SDM dalam kelompok tiga. Perusahaan dapat memilih kebijakan biaya SDM, apakah kelompok satu di mana PPh dikenakan di pihak karyawan atau kelompok empat di mana PPh dikenakan di tingkat perusahaan. Pilihan ini akan tergantung pada beberapa hal, misalnya tarif PPh badan dan tarif PPh Pasal 21, besarnya biaya SDM, dan lain-lain.

skripsi perencanaan pajak


PERENCANAAN PAJAK PENGHASILAN BERBASIS METODE GROSS-UP DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (Studi Kasus Pada Perusahaan Otobus AKAS IV Probolinggo)
PERHITUNGAN PPh PASAL 21 DENGAN MENGGUNAKAN METODE GROSS UP UNTUK PERENCANAAN PAJAK (Studi Kasus Perusahaan Kacang Shanghai dan Mie Suling Mas Group Tulungangung) Eriyani Department of Accounting
Penelitian ini merupakan studi kasus pada perusahaan Kacang Shanghai dan Mie Suling Mas Group Tulungagung dengan judul perhitungan PPh pasal 21 dengan menggunakan metode Gross Up untuk perencanaan pajak.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan PPh pasal 21 terhadap gaji karyawan pada perusahaan, mengetahui seberapa besar perbedaan koreksi fiskal antara metode Gross adult dengan tanpa Gross adult dan mengetahui seberapa besar penghematan PPh pasal 29 dan 25 dalam perencanaan pajak dengan metode Gross up.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah membandingkan laba rugi metode Gross adult dan tanpa Gross adult dengan cara menghitung PPh pasal 21 sehingga nantinya dapat dilakukan koreksi fiskal / rekonsiliasi fiskal antara kedua metode dan j uga menghitung seberapa besar penghematan pasal 29 dan 25 dapat dilakukan dalam perencanaan pajak.
Dari hasil yang diperoleh dari penghitungan PPh pasal 21 yang dilakukan adalah beban gaji Gross adult sebesar Rp. 281.252.400 dan tanpa Gross adult Rp.289.739.400 sehingga terdapat selisih beban gaji fiktif sebesar Rp.8.487.000, sedangkan beban pajak tanpa Gross adult adalah Rp.7.976.000 dan Gross adult sebesar Rp.8.853.000 jadi terdapat selisih beban pajak pasal 21 sebesar Rp.877.000 karena adanya perbedaan penghitungan perlakuan PPh pasal 21 antara kedua metode. Hasil penghitungan koreksi fiskal PPh pasal 29 tanpa Gross adult adalah Rp.110.822.375 dan Gross adult sebesar Rp.108.276.275 sehingga terdapat penghematan PPh pasal 29 sebesar Rp.2.546.100, sedangkan pada penghitungan PPh pasal 25 tanpa Gross adult adalah Rp.9.235.200 dan Gross adult sebesar Rp.9.023.000 jadi terdapat penghematan PPh pasal 25 sebesar Rp.212.200. Hasil penghitungan perencanaan pajak yang dilakukan dalam metode Gross adult perusahaan dapat melakukan penghematan sebesar Rp.1.669.100 dalam satu tahun pajak.
Berdasar hasil analisis diatas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa perlakuan PPh pasal 21 metode tanpa Gross adult yang dilakukan perusahaan kurang baik dalam perencanaan pajak sehingga penulis menyarankan lebih baik perusahaan menggunakan perlakuan penghitungan PPh pasal 21 metode Gross adult untuk perencanaan pajak.

Keyword : PPh PASAL 21; GROSS UP; PAJAK

Perencanaan Pajak Untuk Pajak Pertambahan Nilai


Perencanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat dilakukan sebagai berikut:
  1. Memaksimalkan PPN masukan yang dapat dikreditkan; perusahaan sebaiknya memperoleh Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), supaya pajak masukannya dapat dikreditkan. Perusahaan perlu mengamati dengan cermat jangan sampai terdapat pajak masukan yang belum dikreditkan lagi.
  2. Dalam hal penjualan BKP/JKP yang pembayarannya belum diterima, pembuatan faktur pajak bisa ditunda sampai akhir bulan berikutnya setelah penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
PPN dikenakan atas:
  1. Penyerahan BKP/JKP yang dilakukan oleh PKP
  2. Impor BKP.
  3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
  4. Ekspor BKP oleh PKP.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen atas BKP/JKP dan faktur pajaknya adalah faktur pajak standar atau dokumen yang disamakan dengan faktur pajak standar.
Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan apabila:
  1. Perusahaan sebelum dikukuhkan menjadi PKP.
  2. Faktur pajak sederhana.
  3. Faktur pajak cacat.
  4. Tidak diisi lengkap dan terdapat coretan atau hapusan.
  5. Pajak masukan atas pembelian mobil sedan, jeep, station wagon, van, dan combi.
  6. Pajak masukan berkaitan dengan produksi BKP/JKP.
  7. Pajak masukan yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan kegiatan usaha atas BKP.
  8. Pajak masukan yang dilaporkan pada SPT Masa PPN, yang diketemukan pada saat pemeriksaan/yang ditagih melalui SKP.
Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya pada bulan ketiga setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Membangun Sendiri Tidak dalam Kegiatan Usaha Membangun sendiri untuk tempat tinggal/tempat usaha oleh Orang Pribadi/Badai dikenakan PPN, apabiia:
  • Luas bangunan 400 meter persegi atau lebih.
  • Bangunan permanen.
  • Tarif 10% x 40% x biaya bangunan (tanpa harga tanah).
  • Disetor tiap bulan, pada tanggal 15 bulan berikutnya sejak pembangunan dimulai.
Penyerahan Aset yang menurut Tujuan Semula Tidak untuk dijual.Penyerahan aset yang tujuan semula tidak diperjualbelikan dikenakan PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
  • Pajak keluaran disetor dengan menggunakan SSP tersendiri, disetor paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
  • Dapat dibuatkan faktur pajak tetapi tidak perlu dimasukkan ke Formulir 1195.
  • Dalam hal aset tersebut juga mendapatkan fasilitas penundaan, atas penyerahan asset dimaksud juga dikenakan PPN.
Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
  • Harga Jual
  • Nilai Penggantian
  • Nilai Impor
  • Nilai Ekspor
  • Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
  1. Pemakaian sendiri dan cuma-cuma BKP/JKP: 10% x harga jual dikurangi laba kotor
  2. Penyerahan media rekaman suara/gambar/film cerita: 10% x harga jual rata-rata
  3. Persediaan BKP pada saat pembubaran perusahaan: Harga pasar yang wajar
  4. Aset yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual: Harga pasar yang wajar
  5. Penyerahan jasa biro perjalanan wisata dan jasa pengiriman paket: 10% x 10% jumlah tagihan
  6. Penyerahan jasa anjak piutang: 10% x 5% jumlah imbalan (dapat berupa provisi, ongkos jasa, diskon)
  7. Pedagang eceran: 10% x 20% Jumlah penyerahan barang dan PPN masukan tidak dapat dikreditkan.
  8. Jasa persewaan ruangan: Sewa ruangan: 10% dari sewa yang ditagih Ongkos jasa: 10% x 40% ongkos jasa yang ditagih
Tarif PPN :
  1. Tarif umum adalah 10%.
  2. Tarif ekspor 0%.
Satu hal yang perlu diingat adalah perencanaan pajak yang telah dibuat dan dilaksanakan jangan sampai melanggar peraturan perpajakan, hal ini penting untuk menghindari sanksi perpajakan. Setelah perencanaan pajak selesai disusun dan diimplementasikan, masih ada satu tahap lagi yang harus dilakukan, yaitu pengendalian pajak. Pengendalian pajak perlu dilakukan untuk mengetahui apakah semua perencanaan pajak telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Pengendalian pajak dapat dilakukan melalui penelaahan pajak.
Sumber : http://www.sman1airputih.com/index.php?option=com_content&view=article&id=162:perencanaan-pajak-untuk-pajak-pertambahan-nilai&catid=28:akuntansi&Itemid=55